Welcome to Heri Purnomo Blogspot

Kamis, 12 November 2009

artikel Dhamma 2

JANGAN TERLENA
Oleh: Heri Purnomo

Semua yang terbentuk tidak kekal, bila dengan bijaksana orang melihatnya
Maka dukkha tidak akan ada lagi, inilah jalan untuk mencapai kesucian.
(Sabbe sankhārā aniccā’ti yadā paññāya passaati atha nibbindati dukkhe esa maggo visuddhiyā)
(Tilakkhaņādigāthā)

Pendahuluan

Melihat kehidupan didalam dunia sekarang ini, banyak kita temukan persoalan-persoalan dan masalah-masalah yang sering timbul oleh karena kita sendiri. Sering sekali kita tidak menyadari akan hal itu, apalagi diera perkembangan dan majunya tekhnologi yang boleh dibilang serba canggih. Yang kesemuanya itu tidak memandang bulu, mulai dari kelas ekonomi sampai kelas eksekutif. Sesuatu yang buruk dapat disulap menjadi sesuatu yang elok nan indah, bahkan suara yang sumbang bisa dirubah menjadi merdu.



Sebagian besar orang ingin mendapatkan sesuatu yang dinilai indah, menarik, dan menyenangkan dalam jangka waktu yang lama. Ketika mata ini memandang sesuatu yang indah, menarik, dan menyenangkan, telinga mendengar suara yang merdu, lidah mengecap sesuatu yang nikmat, hidung mencium aroma yang harum, kulit menyentuh benda yang halus muncul dalam pikiran kita untuk dapat terus merasakan semua itu dan tidak ingin melepasnya. Sepanjang hidup kita seperti anjing pemburu yang berlarian mengejar kelinci sampai keliangnya. Itu sama halnya kita yang selalu mengejar kesenangan-kesenangan, apapun bentuknya untuk dapat memuaskan nafsu-nafsu pintu indria kita.

Keinginan yang tak tercukupkan

Nafsu keinginan rendah merupakan suatu kemauan yang dalam terhadap kesenangan jasmani, rohani dan nafsu keduniawian. Sebagai contoh setiap orang selalu ingin mendapatkan makanan yang enak, permainan yang baru dan teman yang menyenangkan. Tetapi biasanya hal-hal tersebut tidak dapat memberikan kepuasan yang lama. Sesudah makanan enak disantap, permainan baru sudah dimainkan, teman yang menyenangkan sudah ketemu, masih tetap saja dirasakan adanya kekurangan. Walau demikian tetap saja orang ingin selalu menikmati kesenangan tersebut dalam kesempatan apapun dan sesering mungkin.

Orang yang ingin memiliki segala sesuatu tidaklah pernah merasa puas. Seperti anak kecil ketika diajak ke toko mainan, mereka ingin dapat menemukan semua mainan yang menarik. Tetapi sebentar saja anak-anak tersebut akan merasa bosan dengan apa yang telah mereka dapatkan dan bahkan mereka akan menginginkan kembali sesuatu yang baru. Kadang kala mereka sampai tidak ingin makan dan tidur hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Walaupun kemudian ketika mereka mendapatkannya, tetap saja kegembiraan mereka tidak berakhir panjang. Kebanyakan mereka juga merasa khawatir akan kehilangan barang mainannya yang baru. Sehingga seandainya barang mainan baru tersebut jatuh dan pecah, dimana terpaksa harus dibuang, maka mereka akan merasa kecewa dan sedih.

Ada kalanya ketika kita telah mendapatkan sesuatu yang di inginkan masih saja kita ingin mendapat yang lebih lagi, sehingga timbul keserakahan. Karena keinginan dan keserakahan, maka orang akan berbohong, menipu, dan mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Selama akar nafsu keinginan rendah masih belum dihancurkan, maka penderitaan akan timbul berulang kali. Buddha berSabda:
“Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali”.
(dhammapada XXIV; 338).

Sering kali kita tidak menyadari apa yang menjadi penyebab seseorang terlena oleh sesuatu yang maya. Hanya karena ingin merasakan dan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, dari keinginan dan keserakahan bahkan untuk mendapat sesuatu yang menjadi milik orang lain. Ketika orang melihat sebuah mobil sedan yang mewah, muncul  keserakahan, iri hati didalam dirinya untuk dapat memilikinya meskipun dia sendiri sedang mengendarai mobil miliknya yang juga tidak terlalu buruk. Bahkan ketika kita melihat orang lain yang sedang memegang telepon genggam (hp) dengan model yang baru, kitapun juga menginginkannya. Walaupun seseorang telah  memiliki sesuatu namun sering kali masih ingin mendapatkan yang lebih lagi. Keinginan  untuk memiliki hak orang lain didalam Pali disebut “Visama Lobha” yang berarti keserakahan yang keterlaluan. Ini bukan berarti keserakahan terhadap apa yang kita miliki, namun keinginan untuk memiliki milik orang lain, dan ini adalah bentuk keserakahan yang sangat buruk.

Semua pasti berlalu

Penderitaan (nafsu rendah) muncul sebagai akibat bentuk-bentuk pikiran yang bersifaf dualisme. Bentuk-bentuk pikiran yang muncul akibat kontak dengan obyek justru menyeret kita untuk mengejar kesenangan dan membenci ketidak senangan. Ironisnya, semakin mengikuti pikiran dualisme ini, semakin terjerat kita pada ketidak puasan dan ketidak bahagiaan. Karena itu, tidak melekat pada dualisme adalah jalan menuju kebahagiaan semua makhluk. Inilah jalan tengah yang ditunjukkan oleh Guru Buddha!

Demikian pula seorang pemimpin bijaksana harus bersikap, dia tidak melekat pada dualisme. Seorang pemimpin Negara misal, akan merasa gundah dan takut bila terlalu terpaku pada permasalahan yang dihadapi negerinya, tetapi tidak dipungkiri juga bisa menjadi lupa diri bila terlena dalam kekuasaan yang dilimpahpahkan oleh rakyat kepadanya. Ini bentuk dualisme.

Perubahan adalah selalu, dari ini berubah menjadi itu. Misalnya seseorang bercerita bahwa, ia telah memakai sebuah mobil selama duapuluhlima tahun lebih. Selama itu, ia telah sering mengganti dan memperbaharui semua bagian-bagiannya, memperbaiki yang rusak dan membersihkan serta mencatnya kembali. Sekalipun demikian, masih saja berkata, bahwa mobil itu adalah mobil yang sama dengan yang dibelinya pada duapuluhlima tahun yang lalu. Disebabkan karena kebutuhannya untuk mengendarai, dilekatkan kepada mobil itu telah dipenuhi selama itu. Oleh karena itulah ia tetap beranggapan, bahwa mobil itu adalah mobil yang sama.
Sekalipun terpaksa membuat anggapan-anggapan semacam itu pada setiap saat, dalam kehidupan sehari-hari, namun dipandang dari sudut kesunyataan, anggapan-anggapan seperti “awet” dan “sama” itu merupakan kesesatan yang paling besar.
Sejak permulaan saat terbentuknya sesuatu, kehancuran telah membayanginya, dan dapat dipastikan bahwa suatu saat kelak akan hancur kembali tidak berbekas. Rumah-rumah yang baru didirikan akan menjadi tua dari hari ke hari sampai pada suatu saat akan roboh tidak meninggalkan bekas-bekasnya lagi. Tinta yang digunakan untuk menulis inipun lama kelamaan akan habis, sehingga tidak dapat digunakan kembali. Demikian pula setiap denyutan jantung membawa kita lebih dekat kekematian.

Ketidak kekalan (anicca) bukanlah suatu ajaran dalam Agama Buddha yang direka-reka  atau dibuat-buat. Melainkan dengan jelas sekali dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena kemelekatan-kemelekatan yang disebabkan oleh ketidak tahuan (avijja), maka kita tidak dapat melihat kesunyataan. Apakah artinya, jika kita menunjuk kepada sesuatu benda dengan mengatakan: “barang itu awet sekali”. Bukankah itu berarti, bahwa benda itu dapat memenuhi waktu yang lama untuk kebutuhan yang kita lekatkan kepadanya?
Bukankah hanya itu saja artinya?

Pemahaman dan penembusan bukan sekedar pengetahuan

Dalam kitab suci Tipitaka dikatakan, bilamana seorang siswa telah menembus kesunyataan atau Dhamma, ia akan menyadari: “Segala sesuatu yang terbentuk pasti akan lenyap kembali” (yamkinci uppada Dhammang sabbang tang nirodhadhammang). Penembusan yang sempurna terhadap kesunyataan ini, hanya dapat tercapai apabila seseorang telah bebas sama sekali dari segala macam keinginan apapun juga.

Selama kita belum dapat mengusir “keinginan” atau “tanha” itu, maka pandangan sesat (sakkayaditthi) akan tetap ada, itulah yang menyebabkan kita tidak mampu untuk menyadari sepenuhnya terhadap corak ketidak-kekalan daripada segala sesuatu yang terbentuk atau sankhara.

Pengetahuan dan pengertian ini memerlukan pemahaman dan penembusan langsung agar dapat mengerti segala sesuatu apa adanya, dan setelah mengerti segala sesuatu apa adanya maka orang tidak akan terus terlena dalam khayalan, menuruti kesenangan-kesenangan indria yang bersifat sementara dan berubah / tidak kekal (anicca).

Pengertian umat Buddha mengenai keadaan yang bersifat sementara dari semua benda-benda, atau dengan kata lain merupakan hukum anicca yang diucapkan dalam perumusan yang indah dan terkenal, yang termaktub dalam kitab Culasaccaka, wawancara ke-35 dari Majjhima Nikaya I; 28 yang berbunyi: “Sabbe Sankhara Anicca” atau yang lebih terkenal lagi dalam ucapan yang artinya sama, yakni “Anicca vata sankhara” (segala yang terbentuk tidak kekal adanya). Pengertian itu bukan dicapai dari hasil yang berdasarkan abstrak (metaphysical) atau karena ilham dari gaya gaib (mystical intuition), akan tetapi adalah atas dasar suatu pertimbangan yang langsung, yang dicapai melalui penyelidikan  dan pembahasan (analisa) yang mendalam.

Paham ini diketemukan atas dasar pikiran yang bebas dari kecenderungan, dan memiliki suatu fondamen yang kuat berdasarkan penyelidikan mutlak.  Sang Buddha Gotama menasehati kepada siswa-siswanya demikian:
“Tidak kekallah, Oh para Siswa, segala sesuatu yang berpaduan (Sankhara) itu tidaklah abadi, karena itu tidaklah ada alasan untuk menikmati dan memuaskan diri dari pada segala sesuatunya dengan terus menerus, sehingga akhirnya menjadi bosan dan jemu terhadap segala sesuatu yang bersifat tidak kekal itu, makanya merasa jijiklah kepadanya dan bebaskanlah dirimu daripadanya”.
(Mahavagga, Angutara Nikaya IV; 100).

Penutup

Demikianlah kita sebagai siswa Buddha hendaknya memiliki pengetahuan dan pengertian yang benar terhadap ketidak-kekalan, sehingga muncul pemahaman dan penembusan langsung bahwa segala sesuatu yang kita anggap indah, cantik, menarik, dan menyenangkan adalah tidak kekal (anicca). Sehingga kita tidak terus terlena didalam kesenangan-kesenangan dan pemuasan-pemuasan diri, serta tidak lagi melekat terhadap segala sesuatu, hingga terwujud ketenangan dan kedamaian didalam diri kita.

Jangan katakan bahwa ini kepunyaanmu dan itu kepunyaanku, katakan saja ini datang padamu dan itu datang padaku, sehingga kita tidak akan menyesal ketika sinarnya menghilang, karena memang demikianlah sifat semua hal yang bersinar.

Referensi:
Kebahagiaan Dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia
Paritta Suci, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta
Kitab Suci Dhammapada, Yayasan Dhamadipa Arama, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar